Jumat, 06 Juli 2018

Menteri Perdagangan Lukita Respon Ancaman Perang Dagang Presiden Donald Trump ke Indonesia


Menteri Perdagangan (Mendag) Enggartiasto Lukita berkomentar terkait ancaman perang dagang Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump terhadap Indonesia.

Trump mengancam bakal mengenakan tarif ke-124 pada produk asal Indonesia menyusul defisit yang terjadi pada AS dalam hubungan dagang dengan Indonesia.

Enggartiasto mengakui bahwa kini Pemerintah AS sedang mengevaluasi keberadaan generalized system of preference (GSP) yang diberikan ke produk-produk asal Indonesia.


"Ya GSP-nya itu, kita termasuk dalam negara yang memiliki surplus besar, makanya kami juga sudah kirim surat dan kami sudah menyampaikan mengenai yang pasti ada perbedaan angka dulu, bagaimana menghitungnya, jumlah defisit mereka dengan surplus kita berbeda angkanya," ujar Enggar di Gedung Kemendag, Jakarta, Kamis (5/7/2018).

Enggar meyakini bahwa berdasarkan hitungan yang dilakukannya surplus Indonesia bukan berasal dari daftar bea masuk untuk dikenakan.

Untuk itu, pendekatan dan lobi digunakan Kemendag untuk menyampaikan hal tersebut. Enggar juga menambahkan, Duta Besar Indonesia di AS pun telah diminta untuk membantu Kemendag.

"Dubes kita di Amerika juga menyampaikan pendekatan dan saya sendiri melakukan komunikasi dengan Amerika untuk meyakinkan, sebab pada dasarnya kita tidak setuju dengan perang dagang karena semua pihak akan dirugikan, kita lebih senang kolaborasi," tutur Enggar.

Meski demikian, Enggar menegaskan, Pemerintah Indonesia tak segan mengambil tindakan jika Trump tetap dengan ancamannya.

"Tetapi, kalau kita dapat tekanan, maka hal itu (perang dagang) bisa kita lakukan. Sama halnya dengan AS dan China. Imbasnya akan berdampak di seluruh dunia," sambung Enggar.

Sebelumnya, Presiden Amerika Serikat Donald Trump mulai melayangkan peringatan kepada Indonesia karena jumlah ekspor ke AS lebih tinggi dibanding jumlah ekspor AS ke Indonesia.

Hal ini diungkapkan Ketua Dewan Pertimbangan Asosiasi Pengusaha Indonesia ( Apindo) Sofjan Wanandi saat acara halal bihalal di kantor Apindo, Kamis (5/7/2018) malam.

"Dia (Trump) sudah kasih kita warning bahwa ekspor kita lebih banyak pada dia dan kita harus bicara pada dia mengenai beberapa aturan-aturan di mana dia memiliki special tariff placement yang dia mau cabut. Itu terutama di bidang tekstil dan lain-lain," kata Sofjan di hadapan pengurus Apindo.

Ratusan Produk Indonesia Terancam
Hasil gambar untuk produk indonesia

Ada lebih dari 100 produk asal Indonesia sebagai komoditas ekspor ke Amerika Serikat yang terancam oleh peringatan Presiden AS Donald Trump mengenai perang dagang.

Berdasarkan informasi dari Ketua Dewan Pertimbangan Asosiasi Pengusaha Indonesia ( Apindo) Sofjan Wanandi, Trump sudah memberi peringatan kepada Indonesia karena neraca perdagangan AS defisit, di mana jumlah ekspor asal Indonesia lebih banyak.

"GSP (Generalized System of Preference) kita sedang di-review. Ada sekitar 124 produk dan sektor yang saat ini sedang dalam review, termasuk di dalamnya kayu plywood, kapas, macam-macam," kata Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Bidang Hubungan Internasional dan Investasi Shinta Widjaja Kamdani saat acara halal bihalal Apindo, Kamis (5/7/2018) malam.

GSP sendiri merupakan kebijakan AS berupa pembebasan tarif bea masuk terhadap impor barang-barang tertentu dari negara-negara berkembang.

GSP menjadi satu-satunya tumpuan Indonesia untuk menjalin hubungan dagang dengan AS.

Jika dilihat dari riwayatnya, program GSP telah berlangsung sejak 1976, lalu sempat dihentikan pada 2013, kemudian dilaksanakan kembali Juni 2015 silam. Jika kebijakan GSP ditiadakan, maka dampaknya akan langsung terasa ke neraca perdagangan Tanah Air karena akan ada tarif yang dikenakan jika Indonesia mengekspor ke AS.

"Tekstil sih sebenarnya enggak masuk dalam 124 tadi, tapi itu juga akan di-review secara menyeluruh untuk lebih mendapatkan manfaatnya. Lalu juga ada produk-produk pertanian, udang dan kepiting kalau enggak salah," tutur Shinta.

Berdasarkan data ekspor impor Indonesia yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik (BPS) pada 25 Juni 2018, tertera AS sebagai satu dari tiga pangsa ekspor nonmigas terbesar Indonesia. Ekspor nonmigas ke AS dari Januari sampai Mei 2018 tercatat sebanyak 10,91 persen dari total ekspor atau setara dengan nominal 7,43 miliar dollar AS.

Jumlah ekspor nonmigas ke AS mengalami peningkatan dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Nilai ekspor nonmigas ke AS pada Januari hingga Mei 2017 tercatat hanya sebesar 7,17 miliar dollar AS.

Mata uang Yuan China Anjlok
Renminbi

Mata Uang China melemah ke titik terendahnya terhadap dollar AS dalam enam bulan belakangan.

Pelemahan ini menimbulkan spekulasi bahwa China sengaja membiarkan nilai mata uangnya jatuh sebagai salah satu strategi perang dagang dengan Amerika Serikat (AS).

Dikutip melalui CNBC, dengan membiarkan nilai yuan jatuh terhadap dollar AS, maka harga barang-barang China aka menjadi jauh lebih murah di pasar internasional.

Namun, analis meragukan pelemahan yuan disengaja oleh China.

"Nampaknya yang terjadi kali ini adalah devaluasi yang tidak terlalu signifikan yang menciptakan keributan yang cukup besar pada pagi ini. Kondisi pasar saat ini juga sedang mengkhawatirkan," ujar Boris Schlossberg dari BK Asset Management.

Kecemasan di pasar mata uang meningkat selepas Presiden Trump mengatakan pihaknya akan merombak kembali Komite Investasi Asing Amerika Serikat (CFIUS) yang aka menentukan izin kepemilikan asing perusahaan AS oleh China.

Langkah trump kali ini dilihat sebagai melunaknya kebijakan Trump yang sebelumnya sempat diberitakan akan melarang perusahaan dengan kepemilikan sebesar 25 persen oleh China untuk berinvestasi di perusahaan-perusahaan AS.

Yuan pun telah melemah terhadap dollar AS sejak awal bulan ini. Dollar AS menguat hingga 6,6145 terhadap yuan. Angka ini adalah yang tertinggi sejak Desember 2018 lalu, meskipun kemudian kembali melemah tipis selepas isu perombakan CFIUS.

Sebelumnya, China kerap dituduh oleh AS dengan sengaja membiarkan nilai mata uangnya terdepresiasi untuk mendorong ekspor mereka. Meskipun tahun ini, AS berhenti menyebut China sebagai 'manipulator kurs', dan mata uang China relatif terjaga dan stabil.

Analis pun menyebut China sepertinya tidak secara sengaja membiarkan mata uangnya melemah terhadap dollar AS, meskipun China juga mungkin menggunakan sedikit pengaruh dari pelemahan ini.

"Secara teori, perang dagang jika terus menerus dapat memicu perang kurs, akan tetapi saya pikir tidak ada pihak yang ingin mencapai titik ini," ujar Currency Strategist Deutsche Bank Alan Ruskin.

Dirinya menambahkan, adanya relaksasi kebijakan moneter China juga menjadi salah satu faktor yang mendorong pelemahan yuan terhadap dollar AS.

0 komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.